Jumat, 01 November 2019

Hubungan Semangat Kerja dan Produktifitas Kerja

Seperti pada pembahasan sebelumnya dalam Semangat Kerja ; Definisi dan Aspeknya disebutkan bahwa Semangat kerja adalah kondisi seseorang yang menunjang dirinya untuk melakukan pekerjaan lebih cepat dan lebih baik di dalam sebuah perusahaan. Kondisi melakukan pekerjaan lebih cepat dan lebih baik merupakan gambaran awal dari pada produktivitas seorang karyawan dalam bekerja. dapatlah dikatakan bahwa terdapat kecenderungan hubungan langsung antara produktivitas yang tinggi dan semangat yang tinggi. Di bawah kondisi semangat yang buruk, produksi yang menguntungkan sulit dimungkinkan untuk masa yang lama. Bila semangat buruk mengurangi produktivitas. Keuntungan yang lebih rendah dapat berarti perolehan gaji yang lebih sedikit di masa depan. Suatu lingkungan yang penuh dan kumulatif lalu terjadi, karena gaji dapat mempengaruhi semangat (Bakri, 1986, p.227). ’Tetapi semangat yang tinggi tidak harus menyebabkan produktivitas tinggi, ia hanyalah merupakan satu pengaruh sekalipun penting pada produksi keseluruhan. Suatu kelompok kerja, seandainya dapat menjadi bahagia sebagai hasil hubungan sosial yang telah mereka timbulkan dalam pekerjaan, tapi mungkin mereka begitu sibuk membadut saja hingga produktivitasnya rendah. Semangat mereka tinggi karena tidak adanya kepemimpinan yang efektif. Jelaslah, karena semangat yang tinggi mempengaruhi produktivitas secara menguntungkan, maka itu harus disertai oleh bimbingan manajemen dan pengawasan” (Bakri, 1986, p.228).
Sikap kerja merupakan hasil penilaian atau evaluasi terhadap orang-orang atau kejadian-kejadian di tempat kerja apakah memuaskan, baik, menyenangkan, menguntungkan atau sebaliknya. Konsep ini paling sering dipahami melalui kepuasan kerja dan komitmen organisasi.
1. Kepuasan kerja
2. Komitmen Organisasi
”Kepuasan kerja berhubungan dengan semangat kerja. Jika seseorang merasa puas terhadap perlakuan yang diterimanya di tempat kerja, maka mereka akan bersemangat untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan” (Panggabean, 2004,p.134)
Brayfield, Arthur H, dan Harold F. Rothe adalah orang pertama yang memberikan pemahaman tentang konsep kepuasan kerja. Mereka beranggapan bahwa ”kepuasan kerja dapat diduga dari sikap seseorang terhadap pekerjaannya” (Arthur H dan Rothe, 1951, pp.307-311). Kemudian Morse (1953) mengemukakan bahwa pada dasarnya, ”kepuasan kerja tergantung pada apa yang diinginkan seseorang dari pekerjaannya dan apa yang mereka peroleh. Orang yang paling tidak merasa puas adalah mereka yang mempunyai keinginan paling banyak, Namun mendapat yang paling sedikit. Sedangkan yang paling merasa puas adalah orang yang menginginkan banyak dan mendapatkannya” Hal senada juga dikemukakan oleh (Getzels dan Guba, 1957, pp.423-441); dengan mengungkapkan bahwa kepuasan adalah “fungsi dari tingkat keserasian antara apa yang diharapkan dengan apa yang dapat diperoleh, atau antara kebutuhan dan penghargaan” (Locke, 1969, pp.309-336).

Keinginan-keinginan karyawan
”Berbagai jenis kebutuhan manusia (human needs) akan dicerminkan dari berbagai keinginan para karyawan terhadap pekerjaannya. Meskipun keinginan ini bisa bermacam-macam, beberapa keinginan (wants) berikut ini merupakan berbagai keinginan yang umum dinyatakan” (Ranupandojo dan Husnan, 1993, p.194):
1. Gaji/upah yang baik. Gaji bisa dipakai untuk memuaskan kebutuhan psikologis, sosial maupun egoistis. Karena itu tidak heran kalau banyak atau bahkan sebagian besar karyawan menginginkan gaji yang tinggi dari pekerjaannya.
2. Pekerjaan yang memberikan penghasilan yang ajeg merupakan salah satu harapan para karyawan. Keinginan ini bisa dibuktikan dari banyaknya peminat untuk menjadi pegawai negeri (karena ada jaminan pensiun).
3. Rekan kerja yang kompak. Keinginan ini merupakan cermin dari kebutuhan sosial. Seorang karyawan mungkin berkebaran untuk dipromosikan, hanya karena tidak menginginkan kehilangan rekan kerja yang kompak.
4. Penghargaan terhadap pekerjaan yang dijalankan. Keinginan ini berasal dari kebutuhan egoistis, yang bisa diwujudkan dengan pujian, hadiah (dalam bentuk uang maupun tidak), diumumkan kepada rekan-rekan sekerjanya dan sebagainya.
5. Pekerjaan yang berarti. Keinginan ini merupakan perwujudan dari kebutuhan untuk berprestasi. Mungkin pada abad ini keinginan ini agak sukar terpenuhi, terutama dengan timbulnya spesialisasi yang tajam.
6. Kesempatan untuk maju. Meskipun mungkin tidak semua karyawan ingin dipromosikan (karena alasan sosial) tetapi pada umumnya setiap orang menginginkan untuk maju dalam hidupnya.
7. Kondisi kerja yang aman, nyaman, dan menarik. Kondisi kerja yang aman berasal dari kebutuhan akan rasa aman (safety needs). Tempat kerja yang nyaman dan menarik sebetulnya lebih merupakan suatu prestise (simbol status), dan pengalokasian hal-hal yang bersifat “status simbol” juga cukup sukar, sebagaimana pengalokasian dana.
8. Pimpinan yang adil dan bijaksana. Pemimpin yang ada menjamin bahwa pekerjaan akan tetap bisa dipertahankan (physiological dan security needs). Demikian juga, pimpinan yang tidak berat sebelah, akan menjamin ketenangan kerja.
9. Pengarahan dan perintah yang wajar. Kedua hal ini sebenarnya juga tidak bisa dipisahkan dari pimpinan yang bijaksana. Pengarahan diperlukan menjaga agar pelaksanaan tidak menyimpang, dan perintah yang wajar diperlukan untuk keberhasilan pelaksanaan.
10. Organisasi/tempat kerja yang dihargai masyarakat. Keinginan ini merupakan pencerminan dari kebutuhan sosial.

Fungsi pemeliharaan karyawan menyangkut kegiatan untuk memelihara kondisi fisik dan mental dari para karyawan, suatu kondisi yang akan diciptakan oleh penarikan karyawan yang baik, pengembangan, pemberian kompensasi dan integritas dan akan dilanjutkan dengan pemeliharaanya. Tetapi disamping itu perlu memberikan perhatian khusus terhadap usaha-usaha untuk memelihara kesehatan dan sikap karyawan. Program pelayanan karyawan membantu memelihara semangat (morale) karyawan. Tentu saja karena menyangkut masalah semangat kerja, masalah ini bisa kita masukkan dalam fungsi integrasi, yaitu untuk menciptakan karyawan yang bukan hanya mampu bekerja tetapi juga harus bisa bekerjasama. (Ranupandojo dan Husnan, 1993, p.267)
Berbagai bentuk program pelayanan karyawan dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu (Ranupandojo dan Husnan, 1993, p.267):
1. Yang menyangkut masalah ekonomi para karyawan.
2. Program rekreasi/hiburan.
3. Program penyediaan fasilitas bagi para karyawan.

Prinsip-prinsip dari program pelayanan karyawan
“Prinsip utama dari program ini adalah agar keuntungan (hasil) yang diperoleh minimal bisa dipakai untuk menutup biayanya. Sebagai tambahan dari prinsip ini, bisa disebutkan beberapa prinsip lainnya” (Ranupandojo dan Husnan, 1993, p.194). Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Para karyawan diarahkan untuk memuaskan kebutuhan yang sebenarnya.
2. Pelayanan ini dibatasi pada kegiatan-kegiatan yang lebih efektif dijalankan secara kelompok daripada secara individu.
3. Pelayanan yang dilakukan mengunakan dasar yang seluas mungkin.
4. Biaya program pelayanan ini bisa dihitung, dan provisinya ditentukan secara jelas untuk dasar pembelanjaannya.
(DeSantis dan Durst. (1996, p.327) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat dikelompokan ke dalam 4 kelompok, yaitu:
1. Monetary, non monetary
2. Karakteristik pekerjaan (job characteristics)
3. Karakteristik kerja (work characteristic), dan
4. Karakteristik individu.
Karakteristik pekerjaan berbeda dengan karakteristik kerja karena karakteristik pekerjaan berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri dimana ia berkaitan dengan cara bagaimana karyawan menilai tugas-tugas yang ada dalam pekerjaannya. Sedangkan karakteristik kerja yang juga disebut dengan the nature of environment adalah faktor-faktor yang diduga dapat membantu atau menghalangi karyawan dalam pelaksanaan dalam tugas-tugasnya.
(Allen dan Meyer, 1990, pp.1-8) “mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sebuah konsep yang memiliki tiga dimensi, yaitu affective, normative, dan continuance commitment. Affective commitment adalah tingkat seberapa jauh seseorang karyawan secara emosi terikat, mengenal, dan terlibat dalam organisasi. Continuance commitment adalah suatu penilaian terhadap biaya yang terkait dengan meninggalkan organisasi. Normative commitment merujuk kepada tingkat seberapa jauh seseorang secara psychological terikat untuk menjadi karyawan dari sebuah organisasi yang didasarkan kepada perasaan seperti kesetiaan, affeksi, kehangatan, pemilikan, kebanggaan, kesenangan, kebahagiaan, dan lain-lain”